Senin, 09 Maret 2009

KHILAFAH PERSPEKTIF, MENUJU TATANAN POLITIK INDONESIA YANG RAHMATAL LIL ALAMIN

Definisi Khilafah

Nama besarnya begitu menggema terdengar, bahkan sebagian orang yang telah putus asa dengan tatanan politik di Indonesia menganggap bahwa khilafah merupakan istilah baru dengan berbagai macam kelebihan yang ditawarkan untuk menjawab segala kekurangan yang ada dalam system demokrasi di Indonesia kita tercita ini. Namun meski begitu masih banyak juga orang yang belum tahu apa makna atau pengertian dari khilafaj itu sendiri. Pada tataran ini mungkin kita semua bisa maklum, karena mulai dari lahir kemudian menempuh pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi kita semua hanya akrab dengan istilah demokrasi.

Menurut Imam al – Juwaini, Imamah (khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh serta serta kepemimpinan yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum dalam kaitannya dengan kemaslakhatan agama dan dunia. Dalam pandangan Imam al-MAwardi, Imamah (Khilafah) itu ditetapkan sebagai pengganti kenabian yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur dunia.

Karena itu menurut Ibn Khladun, Khilafah membawa semua urusan kepada apa yang dikehendaki oleh pandangan dan pendapat syar’I tentang berbagai kemaslakhatan akhirat dan dunia bagi kamum muslim. Sebab, semua keadaan dunia, penilaiannya harus merujuk kepada Allah SWT agar dapat dipandang sebagai kemaslakhatan akhirat. Jadi, Khilafah pada hakikatnya berasal dari Allah yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia.

Sederhananya, khilafah adalah kepemimpinan umum umat Islam untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah keseluruh dunia. Khilafah merupakan kedudukan agama yang terpenting dan selalu diperhatikan oleh kaum muslimin. Syariah Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban – kewajiban agama. Bahkan, dia adalah kewajiban terbesar. Sebab, padanyalah bertumpu atau bergantung pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya [1]).

Maka sudah jelaslah bahwa berdasarkan pengertian diatas khilafah mengatur semua tatanan, yaitu tatana yang berhubungan manusia dengan manusia, serta manusia dengan Tuhannya.

Urgensitas Khilafah (Syariah Islam)

Berbicara mengenai khilafah tentu tidak akan terlepas dari syariah Islam. Karena Khilafah mendasarkan gerakannya pada syariah Islam.

Urgensi syariah Islam adalah untuk memberikan solusi terhadap problem – problem yang di hadapi oleh manusia. Misalnya adalah masalah ekonomi, social budaya dll. Mengapa harus syariah Islam ? karena secara garis besar, menurut menurut al-Mahmud (1995) dalam Al-Da’wah ila al-Islam pelaksanaan Syariah Islam dibebankan kepada 3 (pihak) :

(1) individu, misalnya sholat, puasa, dan haji;

(2) kelompok (jama’ah), misalnya amar ma’ruf nahi mungkar (lihat QS 3 : 104); (

(3) negara, misalnya sistem pidana (nizham ‘uqubat), sistem pemerintahan (nizham al-hukm), dan sistem ekonomi (nizham al-iqtishad) [2]).

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa syariah Islam (khilafah) merupaka tatanan yang pas untuk menyelesaikan masalah – masalah kenegaraan. Karena dalam syariah Islam sudah dibagi – bagi atau diatur sesuai dengan tupoksi masing – masing. Misalnya peyelesaian masalah untuk wilayah individu dan kelopok tidak mensyaratkan keberadaan Negara secara mutlak, namun apabila timbul suatu permasalahan yang menyangkut urusan public atau umum maka keberadaan Negara wajib hukumnya. Jelaslah sudah bahwa ini merupakan sebuah system yang sangat ideal sekali, sehingga tidak akan terjadi carut marut ataupun tumpang tindih penyelesaian masalah.

Selain dari pada itu semua, penggunaan syariah Islam juga telah diwajibkan oleh Allah SWT melalui ayat – ayat yang diturunkannya.

Bagi seorang muslim, mengikatkan seluruh aktivitasnya dengan Syariah Islam adalah wajib hukumnya (lihat misalnya QS 4:59). Lebih dari itu, keterikatan muslim dengan Syariah Islam adalah konsekuensi dari keimanannya terhadap islam (QS 4:65). Sebaliknya seorang muslim haram hukumnya melaksanakan hukum selain Syariah Islam (QS 4:45, QS 4:47), dan bahkan jika ia mengingkari Syariah Islam serta menganggap selain Syariah Islam adalah lebih baik, ia menjadi kafir (murtad) (QS 4:44) ).

Bentuk dan Sistem Khilafah Islam

Khilafah atau Negara Islam ini merupakan istitusi politik sehingga gerak kehidupannya pun tidak bias dipisahkan dari aktivitas politik, sedangkan aktivitas politik Islam dibangun dengan 4 azas yaitu :

  1. Kedaulatan ada ditangan syara’
  2. Kekuasaan ada ditangan umat
  3. Pengangkatan khalifah untuk seleuruh umat hukumnya wajib
  4. Khalifahlah satu – satunya yang berhak untuk mengadopsi hokum syara’ untuk dijadikan undang – undang [3]).

Adapun penjelasannya secara umum adalah sebagai berikut :

Kedaulatan ada di tangan syara’ : Islam mengajarkan kedaulatan ada ditangan syara’, bukan di tangan manusia, umat atau yang lain. Karena yang bias menjadikan manusia sebagai hamba hanyalah Allah bukan yang lain. Sehingga konsekuensi dari hal tersebut adalah :

  1. Bahwa yang menjadi pengendali atau penguasa adalah hokum syara’ bukan hokum hasil dari akal manusia. Sehingga ada permasalahan apapun hukumnya adalah wajib dikembalikan kepada syara’
  2. Siapapun orangnya memiliki derajat yang sama didepan syara’, maka entah penguasa, rakyat jelata atau yang lainnya apabila memiliki kesalahan wajib di jatuhi sanki sesuai dengan peraturan (syara’). Sehingga tidak ada satupun orang atau manusia yang kebal terhadamp hokum.
  3. Keta’atan masyarakat kepada pengusa sesuai dengan syara’ (tidak taat mutlak) karena sesuai dengan firman Allah SWT q.s. An Nisa : 59 ( Wahai orang – orang yang beriman, ta’atlah kalian kepada Allah, RasulNya, serta orang – orang yang menjadi pemimpin diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu urusan, maka kembalikanlah kepada Allah dan RosulNya, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Jelaslah sudah bahwa keta’atan secara mutlak adalah keta’atan kepada Allah dan RosulNya, bukan kepada penguasa.
  4. Wajib mengembalikan seluruh permasalahan / perselisihan kepada hokum syara’ seperti tercermin dalam surat diatas.
  5. Masyarakat wajib mengawasi jalannya pemebrintahan dan tidak segan – segan untuk mengingatkan kepada penguasa yang menyimpang dari tatanan syara’. Sebagaimana firman Allah dalam q.s. Ali Imran : 154 (Hendaklah ada diantara kalian sekelompok umat yang menyeru pada jalan kebaikan, memerintahkan pada kema’rufan, serta mencegah kemungkaran.
  6. Wajib hukumnya ada pengadilan yang independent untuk menyelesaikan persoalan antara penguasa dengan rakyat. Sebab segala sesuatu permasalahan harus dikembalikan kepada syara’ sehingga harus ada lembaga independent diluar pihak yang bersengketa untuk menyelesaiakan permasalahan yang disengeketakan.

Kekuasaan ada ditangan umat : Bahwa mekanisme penguasa dalam memeproleh kekuasaan langsung diberikan oleh rakyat, sehingga tidak ada perwakilan umat / rakyat yang memberikan kekuasaan kepada penguasa sebagai symbol rakyat / umat. Adapun konsekuensi dari hal ini adalah :

  1. Tidak ada satupun kekuasaan yang tidak diberikan oleh rakyat.
  2. Rakyat memiliki hak untuk mengankat penguasa dengan tanpa adanya paksaan. Sehingga tidak diperbolehkan untuk menakut – nakuti rakyat agar memberikan rekomendasi / memilih calon penguasa.
  3. Pemerintahan Islam tidak berbentuk kerjaan yang mana sang raja memperoleh kekuasaan secara keturanan. Karena kekuasaan ada ditangan rakyat maka rakyatlah yang berhak menentukan pilihannya
  4. Rakyat memiliki hak bertanya kepada para penguasa, tetapi tidak mempunyai hak memecat penguasa.
  5. Penguasa adlah pelayan masyarakat yang memberikan kemaslakhatan dan mengurangi kemudzorotan.

Pengangkatan khlaifah untuk seluruh umat hukumnya wajib : dalam hal ini Negara Islam wajib memiliki seorang pemimpin, tidak dibenarkan untuk kosong maupun untuk memiliki pemimpin lebih dari satu. Adapun konsekuensi dari hal ini adalah :

  1. Bentuk negaranya adalah kesatuan, tidak dibenarkan Negara berbentuk federasi.
  2. Sistem pemerintahan adalah sentralistik, sedangkan system adaministrasinya adalah desentralistik. Karena Sistem pemerintahan adalah hak otoriter penguasa / pemimpin sedangkan system administrasi hanyalah system pendukung sehingga menerapkan azaz kearifan local.

Khalifahlah satu – satunya yang berhak untuk mengadopsi hokum syara’ untuk dijadikan undang – undang : Bahwa yang berhak membuat undang – undang adalah pemimpin yang tentu saja undang – undang tersebut berasal dari syara’.

Selanjutnya bentuk dan Sistem Islam dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Negara Islam tidak berbentuk federasi, persemakmuran (commond wealth) tetapi berbentuk kesatuan
  2. Sistem pemerintahan Islam tiak berbentuk kerajaan (monarchi), baik absolute, seperti kerjaan Saudi Arabiyah, maupun parlementer seperti kerjaan Malaysia. Juga tidak berbentuk republic, baik presidential, seperti Indonesia, maupun parlementer seperti Rusia. Tetapi system pemerintahan Islam adalah khilafah, dimana khilafah tidak seperti president, perdana menteri maupun raja.
  3. Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk demokrasi, teokrasi, ataupun autokrasi. Tetapi, system pemerintahan Islam adalah system khilafah yang tidak sama dengan demokrasi.
  4. Sistem pemerintahan Islam berbentuk sentralisasi sedangkan administrasi atau birokrasinya menganut system desentralisasi )

Struktur Pemerintahan

Setelah mengetahui system pemerintahan dalam Islam, maka wajib hukumnya bagi kita semua untuk mengetahui struktur pemerinataha dalam Islam. Karena struktur pemerintahan Khilafah Islam adalah struktur pemerintahan yang dinyatakan dengan dalil dan syara’ maka selain dari pada yang dinyatakan dengan dalil dan syara’ maka hal tersebut bukanlah system pemerintahan. Adapun menurut Hafidz Abdullah dalam bukunya Islam Politik Spiritual struktur pemerintahan khilafah Islam seperti berikut ini :

  1. Khalifah
  2. Wakil Kfalifah bidang pemerintahan
  3. Sekretaris Negara
  4. Panglima Perang
  5. Pimpinan daerah tingkat I dan II
  6. hakim
  7. Birokrasi umum
  8. Majlis al Umat

Jadi perlu penulis tegaskan sekali lagi bahwa dalam system khilafah Islmiah tidak terdqpat lembaga ayng bernama legislative sebagai pesaing pemroduk hokum seperti di Negara kita itercinta Indonesia ini. Sehingga pemimpin / khilafah / penguasa menjadi satu – satunya produsen hokum tentu saja tetap dengan ring syara’. Dan dapat penulis katakana pula bahwa kholifah / pemimpin / penguasa disini sangatlah amanah karena dipilih secara langsung oleh masyarakat / ummat dan diawasi secara langsung oleh ummat / masyarakat pula.

Sejarah Kejayaan Khilafah Islamiyah

Berbicara mengenai kejayaan tentu saja tidak akan pernah lepas dari masalah perekonomian. Karena bagimanapun juga sebagian masyarakat Indonesia menyamakan antara kejayaan dengan baiknya atau tertatanya masalah ekonomi.

Akan tetapi bagaimanapun juga tertatanya masalah ekonomi pada zaman khilfah islamiyah tersebut tidak lepas dari penerapan hokum Islam yang total (kaffah) atau tidak terpotong – potong. Karena hokum Islam merupakan satu – kesatuan dan tidak bias dipotong – potong seperti dogma – dogma sekuler. Atau bias penulis katakana disini bahwa hal itu (pelaksanaan Islam secara kaffah menjadi syarat mutlak bagi terbangunnya perekonomian yang bagus pada zaman khilafah Islamiyah tersebut). Seperti firman Allah dalam Q.S. Al Baqarah : 208 (Hai Orang – orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan). Jelaslah sudah bahwa Islam tetaplah sebuah agama yang terbaik karena dengan masuk kedalam Islam secara sepenuhnya, maka agama ini akan mampu mengaver seluruh hokum – hokum untuk umatnya.

Pada makalah ini penulis hanya akan menyajikan 2 contoh masa kejayaan kekholifahan, yaitu masa kholifah Umar bin Khathab dan masa kholifah Umar bin Abdul Aziz dengan mengutiop tulisan dari KH. M. Shiddiq al-Jawi yang diposting oleh www.khilfah1924.or

Masa Khalifah Umar bin Khaththab

Pada era pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab selama 10 tahun, di berbagai wilayah (propinsi) yang menerapkan islam dengan baik, kaum muslimin menikmati kemakmuran dan kesejahteraan. Kesejehteraan merata ke segenap penjuru.

Buktinya, tidak ditemukan seorang miskin pun oleh Muadz bin Jabal di wilayah Yaman. Muadz adalah staf Rasulullah SAW yang diutus untuk memungut zakat di Yaman. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya Al-Amwal hal. 596, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata,"Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga." Muadz menjawab,"Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu."

Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata,"Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut." (Al-Qaradhawi, 1995)

Subhanallah! Betapa indahnya kisah di atas. Bayangkan, dalam beberapa tahun saja, sistem ekonomi Islam yang adil telah berhasil meraih keberhasilan yang fantastis. Dan jangan salah, keadilan ini tidak hanya berlaku untuk rakyat yang muslim, tapi juga untuk yang non-muslim. Sebab keadilan adalah untuk semua, tak ada diskriminasi atas dasar agama. Suatu saat Umar sedang dalam perjalanan menuju Damaskus. Umar berpapasan dengan orang Nashrani yang menderita penyakit kaki gajah. Keadaannya teramat menyedihkan. Umar pun kemudian memerintahkan pegawainya untuk memberinya dana yang diambil dari hasil pengumpulan shadaqah dan juga makanan yang diambil dari perbekalan para pegawainya (Karim, 2001).

Tak hanya Yaman, wilayah Bahrain juga contoh lain dari keberhasilan ekonomi Islam. Ini dibuktikan ketika suatu saat Abu Hurairah menyerahkan uang 500 ribu dirham (setara Rp 6,25 miliar) (1) kepada Umar yang diperolehnya dari hasil kharaj propinsi Bahrain pada tahun 20 H/641 M. Pada saat itu Umar bertanya kepadanya, "Apa yang kamu bawa ini?" Abu Hurairah menjawab, "Saya membawa 500 ribu dirham." Umar pun terperanjat dan berkata lagi kepadanya, "Apakah kamu sadar apa yang engkau katakan tadi? Mungkin kamu sedang mengantuk, pergi tidurlah hingga subuh." Ketika keesokan harinya Abu Hurairah kembali maka Umar berkata, "Berapa banyak uang yang engkau bawa?" Abu Hurairah menjawab, "Sebanyak 500 ribu dirham" Umar berkata,"Apakah itu harta yang sah?" Abu Hurairah menjawab, "Saya tidak tahu kecuali memang demikian adanya." (Karim, 2001; Muhammad, 2002)

Selama masa kekhalifahan Umar (13-23 H/634-644 M), Syria, Palestina, Mesir (bagian kerajaan Byzantium), Iraq (bagian kerajaan Sassanid) dan Persia (pusat Sassanid) ditaklukkan. Umar benar-benar figur utama penyebaran Islam dengan dakwah dan jihad. Tanpa jasanya dalam menaklukkan daerah-daerah tersebut, sulit dibayangkan Islam dapat tersebar luas seperti yang kita lihat sekarang ini (Karim, 2001, Ash-Shinnawy, 2006).

Dari sudut pandang ekonomi, berbagai penaklukan itu berdampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat. Ghanimah yang melimpah terjadi di masa Umar. Setelah Penaklukan Nahawand (20 H) yang disebut fathul futuh (puncaknya penaklukan), misalnya, setiap tentara berkuda mendapatkan ghanimah sebesar 6000 dirham (senilai Rp 75 juta), sedangkan masing-masing tentara infanteri mendapat bagian 2000 dirham atau senilai Rp 25 juta. (Ash-Shinnawy, 2006). Bagian itu cukup besar. Bandingkan dengan ghanimah Perang Badar, dimana setiap tentara muslim hanya mendapat 80 dirham (senilai Rp 1 juta) (Karim, 2001).

Meski rakyatnya sejahtera, Umar tetap hidup sederhana. Umar mendapatkan tunjangan (ta’widh) dari Baitul Mal sebesar 16.000 dirham (setara Rp 200 juta) per tahun, atau hanya sekitar Rp 17 juta per bulan (Muhammad, 2002). Ini berkebalikan dengan sistem kapitalisme-demokrasi sekarang, yang membolehkan penguasa berfoya-foya --dengan uang rakyat-- padahal pada waktu yang sama banyak sekali rakyat yang melarat dan bahkan sekarat.

Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Khalifah Umar yang ini juga tak jauh beda dengan Khalifah Umar yang telah diceritakan sebelumnya. Meskipun masa kekhilafahannya cukup singkat, hanya sekitar 3 tahun (99-102 H/818-820 M), namun umat Islam akan terus mengenangnya sebagai Khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat.

Ibnu Abdil Hakam dalam kitabnya Sirah Umar bin Abdul Aziz hal. 59 meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata,"Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya." (Al-Qaradhawi, 1995).

Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Abu Ubaid dalam Al-Amwal hal. 256 mengisahkan, Khalifah Umar Abdul mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata,"Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka tetapi di Baitul Mal masih terdapat banyak uang." Umar memerintahkan,"Carilah orang yang dililit utang tapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya." Abdul Hamid kembali menyurati Umar,"Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang." Umar memerintahkan lagi, "Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya." Abdul Hamid sekali lagi menyurati Umar,"Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah tetapi di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang." Akhirnya, Umar memberi pengarahan,"Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada mereka agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih." (Al-Qaradhawi, 1995).

Sementara itu Gubernur Basrah pernah mengirim surat kepada Umar bin Abdul Aziz,"Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabbur dan sombong." Umar dalam surat balasannya berkata,"Ketika Allah memasukkan calon penghuni surga ke dalam surga dan calon penghuni neraka ke dalam neraka, Allah Azza wa Jalla merasa ridha kepada penghuni surga karena mereka berkata,"Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya..." (QS Az-Zumar : 74). Maka suruhlah orang yang menjumpaimu untuk memuji Allah SWT." (Al-Qaradhawi, 1995).

Meski rakyatnya makmur, namun seperti halnya kakeknya (Umar bin Khaththab), Khalifah Umar bin Abdul tetap hidup sederhana, jujur, dan zuhud. Bahkan sejak awal menjabat Khalifah, beliau telah menunjukkan kejujuran dan kesederhanaannya. Ini dibuktikan dengan tindakannya mencabut semua tanah garapan dan hak-hak istimewa Bani Umayyah, serta mencabut hak mereka atas kekayaan lainnya yang mereka peroleh dengan jalan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan Khilafah Bani Umayyah. Khalifah Umar memulai dari dirinya sendiri dengan menjual semua kekayaannya dengan harga 23.000 dinar (sekitar Rp 12 miliar) lalu menyerahkan semua uang hasil penjualannya ke Baitul Mal (Al-Baghdadi, 1987). Subhanallah! [4])

Demokrasi di Indonesia

Berbagai macam model demoktrasi terus menyertai perjalanan sejarah Indonesia. Ada demokrasi parelementer atau demokrasi liberal (1950 – 1959), ada demokrasi terpimpin (1959 – 1966) dibawah kepemimpinan Soekarno, ada juga demokrasi pancasila dibawah bendera Soeharto (1967 – 1998). Pasca demokrasi / lengsernya soeharto dari kursi president, bangsa Indonesia juga menemukan bentuk demokrasi baru. Akan tetapi bentuk ini belum ada yang bias menjaustifikasi, kemanakah atau bentuk semacam apakah ini. Apakah model demokrasi liberal atau model demokrasi yang lain. Akan tetapi bagamanapun dilemma orang dalam mejustifikasi model atau bentuk baru ini, sebenarnya tetap sebuah harapan besar muncul dari sana. Yaitu masalah keadilan dalam hokum dan keadilan dalam sector ekonomi.

Sistem demokrasi di Indonemsia yang memiliki wajah baru namun tetap dengan model trias politikanya samapi saat ini nyata – nyata belum bias memberikan jawaban atas keinginan masyarakat diatas. Adanya lembaga legislative misalnya. Para wakil rakyat ini setelah duduk di gedung perwakilan rakyat tidak pernah sedikitpun memperjuangkan kepentingan rakyat yang selama ini menjadi jargon mereka dalam kampanye – kamapnye mereka. Setelah duduk disana umumnya mereka lupa akan janji mereka. Jangankan memperjuangkan nasib masyarakat,melongokpun agaknya enggan mereka lakukan. Mereka tetap menggunakan jargon atas nama rakyat untuk mengeruk keuntungan dari rakyat pula.

Sebenarnya hal ini tidak bias terlalu dipersalahkan. Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam proses mereka mulai dari pencalonan sampai akhirnya mereka mampu duduk digedung dewan mereka tidak pernah lepas dari peran masyarakat. Masyarakat kita akhir – akhir ini penulis lihat memiliki pemikiran politik pragmatis, sehingga apabila ada pemilihan wakil – wakil mereka yang akan duduk di gedung perwakilan mismalnya, mereka akan memilih calon wakil yang memberikan uang. Sungguh sebuah pemikiran yang sangat kacau sekali. Mungkin hal ini memerlukan peranan seorang psikiater agar masyarakat kita bias berubah. Sehingga apabila calon tersebut sudah jadi, umumnya mereka berusaha ataupun bingung bagaimana agar modal yang mereka keluarkan bias kembali.

Contoh berikutnya adalah lembaga yudikatif. Seharusnya mereka mampu mnegakkan hokum dengan setegak – tegaknya, setiap orang yang melanggar hokum selalu dijatuhi hukuman yang setimpal, seharusnya. Akan tetapi praktik jual beli hokum kian marak saja di Negara kita tercinta ini. Sehingga orang yang meiliki bayak uang dan mampu membeli hokum, seakan – akan mereka akan menjadi kebal hokum. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat “indah” diera yang penuh pengaharapan akan tegaknya supremasi hokum ini.

Berikutnya adalah lembaga eksekutif. Sebagai lembaga yang menjalankan undang – undang yang dibuat oleh lembaga legislative, mereka umumnya juga menyimpangkan undang – undang tersebut. Mulai dari masalah ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Apa mau dikata, sudah produknya salah yang menjalankan salah juga, akhirnya siapa yang boleh disalahkan?

Masih Idealkan Demokrasi diterapkan di Indonesia

Yang dimaksud pemimpin dalam demokrasi adalah mereka orang – orang yang mencalonkan diri menjadi pemimpin yang didukung oleh suara mayoritas. Minimal adalah 50% + 1. mereka sudah syah menjadi seorang pemimpin. Dengan kata lain, yang dapat menjadi pemimpin adalah mereka – mereka yang mendapat suara atau dukungan mayoritas. Penulis lihat disini ada sebuah kesalahan, yaitu masyarakat tidak bisa melakukan fit and properest terhadap calon – calon yang mencalonkan sebagai pemimpin. Mereka umumnya hanya sekedar memilih saja. Sehingga pada akhirnya ajang saling dukung mendukung tidak terelakkan lagi. Tentu saja nantinya pihak yang kalah akan tersingkir secara politis. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah orang yang kalah dalam memberikan dukungan terus kemudian disingkirkan bukanlah warga Negara Indonesia?. Dalam UUD 1945 sudah dijelaskan bahwa setiap warga Negara memiliki hak yang sama dihadapan hokum dan pemerintahan tanpa terkecuali.

Memang demokrasi sebagai gagasan (ide) dan sebagai pelembagaan kekuasaan politik yang rasional telah nyata menawarkan suatu metode untuk menyingkirkan keragu-raguan dalam pengambilan keputusan.Metode demokrasi pada dasarnya dimulai dengan adanya kebebasan hak pilih setiap warga negara untuk turut serta dalam pengambilan keputusan politik. Ketika kita berbicara tentang demokrasi, maka erat kaitannya dengan konteks ‘sosiologis-etis’, jadi dapat dikatakan jika orang menyebut bahwa demokrasi adalah teori politik yang etis, maka yang dimaksud etis di sini adalah secara sosiologis ia diakui dan senantiasa mengindahkan persetujuan sosial dari sekumpulan besar orang yang akan diperintah. Secara metodogis kemenangan suara mayoritas merupakan ‘kebenaran’. Dalam kenyataannya suara mayoritas dapat membenarkan apapun dan dapat pula meng-create putusan yang mengabaikan prinsip-prinsip etika, dan menyatakan keputusan tersebut sebagai kebenaran. [5] )

Bukankah ini sebuah tatanan yang sangat lucu. Tidak akan pernah ada yang namanya pemerataan. Pemimpin adalah miliki mayoritas.

Utopia Khilafah di Indonesia

Setelah melihat berbagai macam kenyataan seperti tertulis diata, mungkinkah system khilafah diterapka di Indonesia?. Agar bangsa Indonesia sedikit banyak mulai tergugah dan bangkit, minimal dari segi ekonomi. Karena telah kita ketahhui bersama bagaimana hancurnya atau bobroknya perekonomian di Indonesia. Korupsi merjalela meski KPK sudah terbentu. Hal ini bisa terjadi karena kembali lagi kepada bahwa pemimpin adalah milik orang yang memeberikan dukungan kepada calon yang menjadi pemimpin. Sehingga akhirnya akan terjadi euphoria dan akhirnya mereka akan melakukan proteksi kepada pihka yang kalah, sehingga pihak yang kalah tersebut tidak bisa melakukan pengawasan sehingga yang terjadi adalah penyelewengan – penyelewengan.

Berbeda sekali tentunya dengan khilfah, pemimpin karena hanya satu orang tentu saja akan memberikan pengayoman kepada orang yang dipimpinnya. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah masih ada orang yang bisa memegang amanah di Indonesia ini setelah sedemikian rusaknya Negara kita ini?.

Semoga saja khilfah tidak hanya menjadi utopia dan angan – angan belaka untuk diterapkan di Indonesia. Apalagi setelah melihat kenyataan kisah – kisah kejayaan khilafah Islamiyah pada masa – masa pemerintahan kholifah seperti contoh diatas.

Karena seperti penjelasan diatas betapa teraturnya sebuah system kenegaraan, dimana disitu sudah sangat diatur tentang bagaimana peran Negara terhadap masyarakatnya dalam menyelesaikan sebuah permasalah. Demikian pula kewajiban warga Negara kepada negaranya. Sesungguhnya Islam tetaplah sebuah ajaran yang sangat ideal apabila bisa diterapkan secara utuh diseluruh kehidupan. Karena seperti kita ketahui bersama bahwa dalam Islam lebih cenderung menekankan pada pelaksanaan kewajiban daripada penuntutan hak. Sehingga secara alamiah hak akan terpenuhi sendiri dengan sendirinya dengan interaksi social dengan prang lain.

Dengan penduduk mayoritas Islam ini bukan hal yang mustahil sebenarnya apabila sedikit demi sedikit mulai kita terapkan. Karena ada sebuah jaminan bahwa dalam Islampun telah diatur bagimana sikap dalam menjaga hubungan dengan orang – orang yang non Islam. Sehingga tetap akan terjaga dari sebuah keadaan konflik atau pertentangn, tentunya apabila hal ini dilaksanakan dengan keseluruhan (kaffah).

Mari kita awali dari diri kita masing – masing sebagai mahasiswa dengan sebuah organisasi yang memiliki bendera Islam untuk mulai berubah. Karena perubahan secara mayoritas tidak akan pernah terjadi atau bisa dilaksanakan tanpa adanya usaha perubahan dari yang minoritas dulu.

Mari kita pupuk keyakinan kita bahwa khilafah tidak hanya menjadi utopia belaka untuk diterapkan di Indonesia. Tentu saja apabila benar – benar diterapkan maka kebaikan dan tentu saja kesejahteraan umat dan kepamjuan bangsa kita ini bisa benar – benar terealisasi.

Kesimpulan

Secara tidak kita sadari sebenarnya sebenarnya system demokrasi di Indonesia ini sudah mengarah kepada system khilafah. Hal ini bisa kita lihat setelah mulai dari pemilu president tahun 2004 rakyat memberikan suaranya secara langsung kepad calon pemimpin mereka. Tetapi tetap saja setelah mayoritas jadi, maka mayoritas ini akan menyingkirkan secara politis pihak – pihak minoritas.

Bagaimanapun juga Khilfah tetap yang terbaik, karena metode khilafah Islamiyah tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia, akan tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat dan khilafah Islamiyah benar – benar bisa direlaisasikan di Indonesia, amiin.

(HANDRAWAN RIFAI)
(Ketua Umum HMI Komisariat Persiapan Menaksopal Trenggalek)


[1] Gema dan Pesona Khilafah ; Rony darwain, ST, www.waspada.co.id, 09/08/2007

[2] Demokrasi dan Syariah Islam ; M. Shiddiq al-Jawi, www.khilafah1924.org

[3] Hafidz Abdurahman, Islam Politik Spritual ; Al Azhar Press, Bogor, 2004

[4] Shiddiq al-Jawi. M. KH, Kejayaan Ekonomi pada Masa Khilafah Islamiyah, www.khilafah1924.org

[5] filsufgaul, Menanti Satrimuda Pendekostruksi Demokrasi Indonesia; www.wordpress.com,2008